Tradisi harus tetap dilestarikan, kemasannya yang harus diperbaharui, tanpa meninggalkan makna yg terkandung didalamnya


TRADISI

Rabu Pungkasan ala wong jowo

Hari Rabu, 9 Desember 2015, merupakan hari Rabu terakhir pada bulan Safar atau lebih dikenal khususnya masyarakat Jawa sebagai Rebo Pungkasan atau Rebo Wekasan. Pada hari tersebut sebagian masyarakat melakukan semacam “tradisi ritual” untuk menolak bala (bencana/musibah).

Ritual yang dilakukan masyarakat menyambut Rebo Pungkasan berbeda-beda, sesuai tradisi yang berlaku di daerah masing-masing, Ritual yang dilaksanakan biasanya ada yg mandi di sungai didaerah Jateng, Sebagian masyarakat percaya dengan mandi di sungai pada hari Rebo Wekasan, akan menghindarkan diri dari bala’.

Masyarakat biasanya mengadakan selamatan, shalat Lidaf’il Balaa (memohon ampun dari bala) dan pembagian air Wifiq (rajah khusus yang diriwayatkan oleh Ulama Ahlul Hikmah digunakan untuk meminta berkah dan keselamatan dari Allah SWT).

Tradisi merayakan Rebo Wekasan tidak ditemukan teks-nya dalam Al Qur’an maupun Hadits.

Salah satu “penguat” tradisi Rebo Pungkasan adalah kitab Al-Jawahir al-Khoms, Syeikh Kamil Fariduddin as-Syukarjanji. “Menurut beliau, setiap tahun pada hari Rabu terakhir di bulan Safar, Allah akan menurukan 320.000 musibah dan bencana ke muka bumi. Pada hari tersebut, disunahkan untuk mendirikan Shalat Sunnah,” paparnya.

Selamatan yang lazim dilakukan masyarakat yaitu membuat takir (nasi dan lauk pauk yang dibungkus dengan daun pisang/takir/kertasminyak/cowek/rege/streofoam/dll) selanjutnya dibacakan do’a oleh Kyai setempat dan dimakan bersama di Masjid/mushola. Bahkan sebagian ada yang dibawa pulang untuk dimakan bersama keluarga” .

Pergeseran Makna Rebo Wekasan

Tradisi Rebo Wekasan yang dilakukan sejak dulu dan masih dilanggengkan hingga saat ini oleh masyarakat, ternyata disayangkan oleh beberapa pihak. Hal tersebut terkait cara merayakan dan memaknai Rebo Wekasan, terutama oleh anak muda desa.

masyarakat pada saat Rebo Wekasan punya tujuan berbeda. Sebagian merayakannya dengan sajian orkes dangdut. Padahal para Kyai sudah melarang membuat pertunjukkan musik, namun tahun ini masih diadakan Orkes dangdut. Rebo Wekasan mestinya mengajarkan nilai positif pada masyarakat terutama keutamaan bersedekah, terutama sebagai alat untuk menghindarkan kita dari bala. Sesuai dengan Hadits Nabi; Ash-shodaqaatu tadfa’ul balaa (sedekah itu menghindarkan dari bala). 

“Rebo Wekasan bukan tempat berhura-hura yang tentu saja membuat orang lupa diri dan malah mendatangkan bala,” .

Para Kyai khawatir jika perayaan masih menggunakan cara-cara yang tidak sesuai dengan semangat awalnya, tradisi Rebo Wekasan kehilangan makna di masyarakat. “Belum lagi serangan dari pihak-pihak yang suka menyesatkan amalan warga Nahdliyin akan semakin gencar dan menemukan sasaran empuk”.

Meski demikian, kita masih menaruh harapan acara Rebo Wekasan bisa lebih baik dan bermanfaat. Namun semua tergantung kita. “Tradisi harus tetap dilestarikan, kemasannya yang harus diperbaharui, tanpa meninggalkan makna yg terkandung didalamnya. Bagaimana menurut kawan kawan?



Gambar dan Artikel by:
Status FB Alfanov
15 November pukul 9:45

Subscribe to receive free email updates:

1 Response to "Tradisi harus tetap dilestarikan, kemasannya yang harus diperbaharui, tanpa meninggalkan makna yg terkandung didalamnya"